Senin, 25 April 2016

BAGAIMANA MENATA KELUARGA BUDDHIS YANG HARMONIS ?



KELUARGA BUDDHIS HARMONIS
Kebahagian dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga adalah sasaran yang dicari-cari dan didambakan oleh setiap keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dambaan tersebut hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil dari kehidupan keluarga. Ada yang beranggapan bahwa memiliki kekayaan berlimpah, keharmonisan dan kebahagiaan keluarga dapat ditemukan. Ada yang beranggapan, dengan cinta, tidak ada yang perlu disesali.
rahasia kekuatan keluarga’, mengilustrasikan kekuatan hidup keluarga untuk memperkokoh, membangkitkan, dan menyembuhkan. Pada hakekatnya semua manusia mendambakan kehidupan keluarga yang harmonis. Masing-masing individu mempunyai rumusan tentang kehidupan keluarga yang harmonis tidak sama, dimana batasan atau kecenderungan setiap individu berbeda-beda. Begitu pula ajaran agama memberikan rumusan dan cara untuk merealisasikan kehidupan keluarga yang harmonis dengan uraian dan metodenya masing-masing.
Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan. Pembentukan keluarga adalah berawal dari perkawinan. Kehidupan keluarga baik suami maupun istri hendaknya berpikir lebih mementingkan hubungan keluarga daripada kepentingan masing-masing. Hubungan demikian merupakan pertalian dua kepentingan dan pengorbanan dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak. Saling pengertianlah rasa aman dan puas dalam perkawinan dapat tercapai. Tak ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam perkewinan. Tak ada dua orang anak manusia yang bisa hidup bersama dalam hubungan emosional yang intim dalam waktu yang lama, tanpa harus berhadaban dengan kesalahpahaman dan perselisihan yang timbul dari waktu ke waktu. Pengertian dan toleransi dibutuhkan untuk mengatasi perasaan cemburu, kemarahan, dan curiga.
Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keharmonisan (keserasian) dari pada sekedar mencari pasangan tepat. Kedua belah pihak terus-menerus berusaha menjadi orang yang mempunyai sikap saling menghormati, mencintai, dan memperhatikan anggota keluarga yang lain. Buddha bersabda “demikianlah perumah tangga, bila wanita dan pria keduanya mengharapkan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan kehidupan yang akan datang, harus memiliki keyakinan yang sebanding, sila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding, dan ke­bijaksanaan yang sebanding, maka akan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan pada kehidupan yang akan datang . . . Demikianlah di dunia ini, hidup sesuai dengan petunjuk Dhamma, pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai kebaha­giaan yang di idam-idamkan” (A. II.61).
Selain tujuan perkawinan untuk membentuk rumah-tangga yang aman, damai, rukun dan sejahtera pada kehidupan sekorang, juga masing-masing individu mengharapkan agar perkawinannya dapat berlanjut hingga pada kehidupan yang berikut setelah dipisahkan oleh kematian pada kehidupan sekorang. Secara terperinci akan dijelaskan empat hal yang harus sebanding dan sama-sama dimiliki oleh suami-istri merupakan faktor yang dapat melestarikan cita-cita keluarga bahagia, dijelaskan sebagai berikut:
Saddha atau keyakinan dikatakan demikian apabila “ia percaya pada penerangan agung dan Sang Buddha” (M.53). Namun keyakinan ini harus “masuk akal dan berdasarkan pada pengertian” (M.47), dengan demikian ia diharapkan untuk menyelidiki dan menguji apa yang ia yakini (M.47-49). Sehubungan dengan pengertian atau rumusan tentang keyakinan dalam Samyutta Nikaya XLVIII.45 dikatakan “seorang yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian”.
Jelaslah bahwa saddha didasarkan pada pengertian, sehingga pengalaman (praktek), penalaran, dan pengetahuan sangat menentukan tingkat keyakinan dari yang bersangkutan.
Sila atau pelaksanaan latihan peraturan moral. Sila bukan peraturan lorangan, tetapi ajaran moral dengan tujuan agar umat Buddha menyadari akan akibat yang baik bila melaksanakannya dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Seseorang adalah bertanggung-jawab penuh pada setiap perbuatannya. Sehingga menurut Buddha Dhamma, setiap individu harus bertindak dewasa dan bijaksana dalam perilakunya. Pada kontek ini sila yang dimaksudkan adalah Pancasila Buddhis.
Mengenai tujuan dan manfaat dari pelaksanaan sila, Sang Buddha menyatakan bahwa “sila menghasilkan kebebasan dari penyesalan, kebebasan dari penyesalan membawa suka cita… kegiuran… ketenangan… kebahagiaan… pemusatan batin … melihat dan mengetahui segala hal apa adanya… penolakkan dan surutnya minat (pada hal-hal duniawi)… pembebasan sebagai tujuan akhir.. sila membawa berangsur-angsur ke puncak pencapaian” (A.V).
Caga atau kemurahan hati, kedermawanan, kasih sayang yang dinyatakan dalam bentuk pertolongan melalui perbuatan atau kata-kata, serta tanpa ada perasaan bermusuhan dan iri hati, agar mahluk lain dapat hidup dengan tenang, damai dan bahagia. Mengembangkan caga dalam batin harus sering mengembangkan kasih sayangnya dengan menyatakan dalam batin “semoga semua mahluk berbahagia, bebas dan penderitaan, … kebencian, … kesakitan, … dan kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri”. Ia selalu memiliki kecenderungan batin untuk membahagiakan orang lain, pada waktu ia menolong atau membantu orang lain ia akan merasa gembira dan senang karena melihat orang yang ditolongnya bahagia.
Panna atau kebijaksanan adalah sebagai hasil dari pengalaman, penalaran, dari pengetahuan pribadi. Kebijaksanaan merupakan dasar dari perkembangan mental, moral, spiritual, dan intelektual seseorang. Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori tetapi yang paling penting adalah pengalaman dalam pengamalan ajaran Sang Buddha. Secara ideal, yang dimaksudkan dengan panna adalah pengertian benar dari penembusan tentang anicca (ketidak kekalan), dukkha (sulit mempertahankan sesuatu karena sesuatu itu tidak kekal), dan anatta (tanpa inti atau jiwa yang kekal) sampai mencapai penerangan sempurna, dengan demikian ia mencapai kesucian serta mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah ada, mutlak, dan tak dapat digambarkan atau dipersamakan dengan apa pun.
Memiliki ke empat factor kehidupan sebanding, sepasang suami istri mudah menyeberangi lautan hidup berkeluarga yang penuh dengan suka dan duka serta tantangan. Kebijakan yang sebanding, maka suami istri akan hidup dengan saling mengerti sehingga masalah rumah tangga yang sedang dihadapi dapat dipecahkan bersama. Namun untuk menemukan pasangan yang serasi se ia dan sekata adalah sukar sekali, temyata banyak pasangan suami-istri memiliki sifat atau perangai yang tak sama. Dengan kata lain perangai pasangan suami istri adalah berlainan satu dengan lainnya.
Terdapat empat macam pasangan perkawinan, yaitu:
(1) raksasa dan raksesi, suami istri meru­pakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk;
(2) raksasa dan dewi, suami berkelakuan buruk sedang istri berbudi luhur atau berketakuan baik;
(3) dewa dan raksesi, suami yang berkelakuan baik hidup dengan istri yang buruk laku;
(4) dewa dan dewi, pasangan yang sama-sama mulia karena berkelakuan baik.
Sudah tentu pcrkawinan dewa dan dewi yang berbahagia, yang dipuji oleh Buddha (A.II.57-58). Perkawinan yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan diper­siapkan dengan baik, diharapkan membuahkan bentuk perkawinan dewa-dewi.
Nasihat Sang Buddha untuk Keluarga
1. Isteri
Saat memberikan nasihat kepada seorang wanita berkenaan dengan peranannya dalam keluarga, Buddha menyatakan bahwa kedamaian dan keharmonisan keluarga lebih banyak tergantung pada isteri. Nasihat yang diberikanNya sungguh realistis dan praktis, berupa sejumlah perilaku sehari-hari yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh seorang isteri, yaitu:
a) tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang kurang baik tentang suaminya;
b) tidak bersikap kasar, kejam dan menguasai;
c) tidak boros, sebaliknya harus hemat dan hidup sewajamya;
d) menjaga dan menyimpan hasil kerja keras dan harta suaminya;
e) selalu memberikan perhatian serta pertimbangan dalam berpikir dan berbuat;
f) setia dan tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang menghantar ke penye-lewengan;
g) halus dalam tutur kata dan santun dalam tingkah laku;
h) penuh kasih sayang, rajin, dan kerja sungguh-sungguh;
i) penuh perhatian dan belas-kasih kepada suaminya dan sikapnya mesti setara dengan cinta kasih seorang ibu terhadap anak satu-satunya;
j) rendah hati dan penuh rasa hormat;
k) sejuk, tenang dan penuh pengertian melayani tidak hanya sebagai isteri tetapi juga sebagai seorang teman dan penasihat, saat diperlukan.
2. Suami
Suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki peng­hasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dmlimpahkan kepada para almarhum tersebut).
Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib ber­hemat dan tidak menghambur-hamburkan uang (Jt.V.433)
Buddha menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan isterinya menyatakan bahwa seorang suami harus menghargai dan menaruh hormat pada isterinya, dengan menjaga kesetiaannya, dengan memberi isterinya keleluasaan dalam mengatur urusan rumah-tangga, dan dengan memberinya segala kebutuhan yang diperlukan.
Sifat laki-laki untuk meletakkan dirinya lebih tinggi dari pada wanita. Mengetahui hal ini, Buddha memelopori perubahan radikal dan mengangkat harkat wanita dengan anjuran sederhana yaitu para suami hendaknya menghormati dan menghargai isteri mereka. Bersikap lemah lembut terhadap isterinya. Seorang suami harus setia kepada isterinya. Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya. Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya (D.III.190).
Artinya ia mesti memenuhi dan menjalankan kewajibannya terhadap isteri, di dalam kehidupan berumah-tangga. Hanya dengan cara demikian, kebersamaan di dalam perkawinan dapat dipertahankan.
Tugas seorang ibu adalah mengasihi, memperhatikan, dan melindungi anaknya, sekali pun dengan akibat-akibat yang sangat buruk. Umat Buddha mengikuti ajaran bahwa orang tua mesti memberi perhatian kepada anaknya seperti bumi mengasihi semua tanaman dan binatang.
Orang tua bertanggung-jawab untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka. Anak yang tumbuh menjadi kuat, sehat, dan berguna bagi masyarakat, merupakan hasil dari usaha orang tua. Anak tumbuh menjadi penjahat, orang tualah yang harus bertanggung-jawab. Tugas orang tua untuk menuntun anak-anaknya ke jalan yang benar. Seorang anak pada usianya yang muda, paling mudah terpengaruh, memerlukan cinta yang lembut, dan perhatian dari orang tuanya. Tanpa kasih-sayang dan petunjuk orang tua, anak akan menghadapi banyak rintangan, dan melihat dunia ini sebagai tempat yang ruwet untuk ditinggali.
Melimpahkan kasih-sayang dan perhatian tidak berarti mengikuti semua keinginan anak, yang masuk akal sekali pun. Terlalu mengikuti kehendaknya akan merusak anak. Seorang ibu yang mengasihi anaknya, juga harus tegas dan ketat dalam menghadapi sikap melawan dari anaknya, namun tidak berarti bersikap kasar. Tunjukkanlah kasih sayang, tetapi poleslah dengan disiplin niscaya anak-anak akan mengerti. Sayangnya, orang tua masa kini kasih-sayang yang diberikan semakin memudar. Kegilaan pada harta, gerakan feminisme dan emansipasi telah menyebabkan banyak ibu yang mengikuti jejak suaminya, menghabiskan waktu kerjanya di kantor dan pertokoan, bukan tinggal di rumah membina anak-anak.
Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan.
Perkewinan merupakan persekutuan antara dua individu, yang diperkaya dan ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan kepribadian yang bersangkutan tumbuh.
Rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua sebagai guru yang pertama bagi anak-anak. Orang tua adalah guru di rumah; guru adalah orang tua di sekolah. Baik orang tua man pun guru bertanggung-jawab atas masa depan yang baik bagi anak-anak, yang akan menjadi sebagaimana mereka dibentuk.
Membangun keluarga yang harmonis diutuhkan keselarasan dari semua komunitas anggota keluarga berdasarkan norma keluarga dan norma dharma sebagai soko guru keluarga.

Sumber :
http://susanonbudhist.blogspot.co.id/2014/01/keluarga-buddhis-harmonis.html

Tiga Corak Kehidupan Di Dunia



Hukum Tilakkhana termasuk Hukum Kebenaran Mutlak, artinya bahwa hukum ini berlaku dimana-mana dan setiap waktu (tidak terikat oleh waktu dan tempat). Hukum Tilakkhana ini mengacu pada 3 corak kehidupan yang pasti terjadi dan terdapat pada segala sesuatu yang berkondisi. Apa saja 3 corak kehidupan itu?
1. Sabba Sankhara Anicca (ketidakkekalan atau perubahan)
Segala sesuatu dalam alam semesta yang terdiri dari perpaduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Buddha Gautama
melihat bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai suatu proses yang terus berubah atau berevolusi.
2. Sabbe Sankhara Dukkha (tidak memuaskan atau penderitaan)
Bahwa segala sesuatu yang tidak kekal tersebut sesungguhnya tidak memuaskan dan oleh karena itu merupakan penderitaan (dukkha) karena tidak bisa menerima perubahan yang terjadi.
3. Sabbe Dharma Anatta (tidak ada jiwa yang abadi)
Pada akhirnya akan kembali pada pengertian bahwa tidak ada yang dapat disebut sebagai ‘Aku’ atau ‘jiwa’ atau ‘roh’ yang abadi karena semua bentuk selalu berubah. Jadi tidak ada yang namanya jiwa atau roh yang abadi. Semua itu hanyalah pandangan egoisme terhadap diri.
Sudah menjadi sifat umum dari segala sesuatu yang berkondisi untuk selalu mengalami perubahan (impermanence). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tiada satu bentuk pun yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang kekal. Semua kondisi berjalan dengan sendirinya. Terkadang kita tertawa, di lain waktu kita menangis. Bahkan sejak kita dilahirkan di dunia ini, baik disadari ataupun tidak, kita terus menerus mengalami perubahan usia, karakter, intelektualitas dan kebijaksanaan.
Apakah kita bisa mencegah perubahan itu? Tidak ada ilmu pengetahuan yang bisa mencegah jalan alami ini. Kita semua tidak dapat mencegahnya. Dapatkah Anda mengeluarkan napas tanpa menghirupnya? Atau Anda hanya menarik napas tanpa mengeluarkannya? Tidak mungkin itu terjadi. Manusia ingin segala sesuatu agar kekal, tetapi tidak bisa. Itu adalah hal yang mustahil. Jika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, pikirannya berangsur-angsur terbuka. Dan ketika ada sesuatu yang muncul, dia hanya akan mengatakan: “Oh, satu lagi wujud perubahan”.
PENDERITAAN (DUKKHA)
Ketika penderitaan muncul, tidak seorang pun yang dengan mudah bersedia menerimanya. Kecenderungan orang akan beranggapan bahwa penderitaan ini bukan milikku, kebahagiaan adalah milikku. Namun, hal itu justru semakin menjauhkan orang tersebut dari kedamaian dan malah terus membuatnya menderita.
Kemelekatan (attachment) merupakan salah satu sifat dari pengumbaran nafsu keinginan. Semakin seseorang melekat pada sesuatu, semakin sulit pula bagi dia untuk melepaskan diri dari penderitaan dan melihat kebijaksanaan.
TIDAK ADA ROH YANG KEKAL (ANATTA)
Buddha Gautama menolak semua teori dan spekulasi mengenai jiwa sebagai sesuatu yang abadi atau kekal. Demikian juga jiwa yang sifatnya sementara maupun jiwa yang akan menyatu dengan sesuatu yang disebut Maha Abadi. Seluruh tubuh ini tersusun dari 4 elemen: tanah (unsur padatan), air (unsur cairan), api (unsur panas),
dan angin (unsur gerak). Ketika semuanya bersatu dan membentuk tubuh, kemudian kita menamakannya sebagai pria, wanita, dan lain-lain. Tapi itu hanya nama saja, bukanlah diri. Disamping paham anatta (tanpa jiwa) yang merupakan ciri khas ajaran Buddha, terdapat pula 2 paham lain yang saling bertolak belakang dan sama-sama tidak dibenarkan oleh Buddha Gautama,
yaitu:
Atthavada – paham bahwa roh/jiwa adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang masa
Ucchedavada – paham bahwa setelah mati atma itupun akan turut lenyap

Sumber : Basic Buddhism – Upa. Sasanasena Seng Hansen

Apa Pesan Buddha Untuk Zaman Sekarang ?


Oleh : Bhikkhu Bodhi
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, mengembangkan kebajikan dan kebersihan batin, inilah Ajaran Para Buddha
Meskipun umat manusia telah membuat berbagai kemajuan yang menakjubkan dalam sains dan teknologi -berbagai kemajuan yang secara dramatis telah meningkatkan kondisikondisi kehidupan dengan berbagai cara- kita masih menemukan diri kita berhadapan dengan berbagai masalah global yang menghalangi usaha-usaha kita yang paling menentukan untuk memecahkan mereka di dalam berbagai kerangka yang dibuat.
Banyak penyakit sosial yang menjangkiti kita tidak dapat dijelaskan dengan sepenuhnya tanpa memandang orang kuat yang menyetir yang berada di belakang mereka. Sering kali, gerakangerakan tersebut menyebabkan kita mengejar tujuan-tujuan yang divisif (bersifat memecahbelah) dan terbatas, meskipun yang dikejar itu akhirnya menghancurkan diri sendiri.
Problem-problem tersebut mencakup: tekanan-tekanan regional yang eksplosif (dahsyat) dengan karakter etnik dan keagamaan; perluasan senjata-senjata nuklir yang berkesinambungan; pelanggaran HAM; gap yang lebar antara si kaya dan si miskin; perdagangan gelap berskala internasional yang mencakup narkoba, perempuan, dan anak- anak; berkurangnya sumber-sumber alam di bumi; dan pencemaran lingkungan. Dari perspektif Buddhis, hal yang paling mencolok ketika kita merenungkan masalah-masalah tersebut sebagai suatu keseluruhan adalah karakter mereka yang pada dasarnya simptomatik. Di bawah keanekaragaman mereka yang terlihat di luar, mereka muncul dalam banyak manifestasi dari satu akar yang sama, dari sebuah penyakit spir itual berbahaya yang dalam dan tersembunyi yang menjangkiti organisme sosial kita. Akar yang sama ini secara sederhana dapat dikarakterisasi sebagai suatu tuntutan yang keras untuk menempatkan kepentingan diri yang sempit dalam waktu singkat (termasuk kepentingan kelompok-kelompok etnis dan sosial) di atas kepentingan umum. Banyaknya penyakit sosial yang menjangkiti kita tidak dapat dijelaskan secara tuntas tanpa memandang gerakan-gerakan yang kuat dari orang yang berada di belakang mereka. Sering kali, gerakan-gerakan tersebut menyebabkan kita mengejar tujuan-tujuan yang divisif (bersifat memecahbelah) dan terbatas, meskipun yang dikejar itu akhirnya menghancurkan diri sendiri. Ajaran Buddha menawarkan kepada kita dua cara yang berharga untuk menolong kita melepaskan diri kita dari belenggu ini. Yang satu adalah analisisn ya yang tajam berdasarkan sumber sumber psikologis tentang penderitaan manusia. Yang lain adalah jalan untuk latihan moral dan mental yang dibabarkan secara tepat yang berguna sebagai satu solusi. Buddha menerangkan bahwa sumber-sumber psikologis tentang penderitaan umat manusia yang tersembunyi di arena kehidupan kita -pribadi dan sosial- adalah ketiga faktor mental yang disebut akar-akar yang tidak baik, yakni: keserakahan, kebencian, dan delusi. Ajaran Buddhis tradisional melukiskan akar-akar yang tidak baik itu sebagai penyebab penderitaan pribadi, tetapi dengan mengambil pandangan yang lebih luas kita dapat pula melihat mereka sebagai sumber penderitaan di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan merajalelanya keserakahan, maka dunia berubah menjadi arena pasar global dimana orang-orang direndahkan hingga status konsumen, bahkan komoditas, dan sumbersumber vital di planet kita dikeruk sebanyakbanyaknya tanpa mempedulikan generasigenerasi yang akan datang. Dengan mewabahnya kebencian, maka perbedaan etnis  dan kebangsaan menjadi lahan subur bagi kecurigaan dan permusuhan, yang meledak dalam kekejaman dan lingkaran balas dendam yang tiada akhir. Delusi menyokong kedua akar yang tidak baik itu beserta kepercayaan yang salah dan ideologi politis yang memunculkan kebijakan-kebijakan yang dimotivasi oleh keserakahan dan kebencian.
Sementara perubahan-perubahan dalam struktur dan kebijakan sosial benar-benar diperlukan untuk menanggulangi bentukbentuk kekerasan dan ketidakadilan yang begitu meluas di dunia dewasa ini, perubahanperubahan itu sendiri tidak akan cukup untuk mencapai kedamaian sejati dan stabilitas sosial. Berbicara dari perspektif Buddhis, saya akan mengatakan bahwa apa yang diperlukan diatas semuanya itu adalah sebuah mode persepsi yang baru, suatu kesadaran universal yang akan memampukan kita untuk menghargai sesama -yang pada hakikatnya tidak berbeda dari diri kita sendiri-. Bagaimanapun sulitnya, kita harus belajar untuk melepaskan diri dari menuntut untuk kepentingan diri sendiri dan selanjutnya meningkat ke perspektif universal, dimana kesejahteraan semua orang terlihat sama pentingnya dengan kesejahteraan diri kita sendiri. Yaitu, kita harus menanggalkan sikap ego-sentrik dan etno-sentrik, dan sebagai gantinya kita menganut “etika yang berpusatkan pada dunia” yang memberikan prioritas pada kesejahteraan semua orang.
Menggarisbawahi isi khusus dari etika global adalah sikap hati yang harus kita usahakan untuk mengejawantahkannya di dalam kehidupan pribadi dan kebijakan sosial. Hal utama dalam keduanya adalah cinta kasih dan belas kasih (metta karuna).
  1. Sebuah etika yang berpusatkan pada dunia seperti itu harus dibentuk berdasarkan ketiga bimbingan, sebagai antidot (penangkal) terhadap ketiga akar yang buruk:Kita harus mengatasi keserakahan eksploitatif dengan kemurahan hati global, pemberian bantuan, dan kerja sama,
  2. Kita harus menghilangkan kebencian dan dendam dengan kebijaksanaan dari kebaikan hati, toleransi, dan pemberian maaf, dan
  3. Kita harus mengenal bahwa dunia kita ini adalah suatu keseluruhan yang saling bergantung dan saling berhubungan sedemikian rupa sehingga dimana pun ada tingkah laku yang tidak bertanggungjawab di sana ia akan mendapatkan reaksi keras.
Bimbingan-bimbingan tersebut, yang didasarkan pada ajaran Buddha, dapat menjadi inti dari etika global yang dapat diikuti dengan mudah oleh semua tradisi spiritual besar di dunia.
Memperhatikan kandungan spesifik dari etika global adalah sikap hati yang harus kita usahakan untuk mengejawantahkannya di dalam kehidupan pribadi dan kebijakan sosial. Hal utama dalam keduanya adalah cinta kasih dan belas kasih (maitri karuna). Melalui cinta kasih kita mengetahui bahwa sesungguhnya kita masing-masing ingin hidup dengan bahagia dan damai. Melalui belas kasih kita menyadari bahwa sesungguhnya kita masing masing tidak ingin sakit dan menderita, demikian pula semua orang tidak menginginkan kesakitan dan penderitaan. Jika kita telah mengerti inti perasaan yang umum ini sehingga kita berbagi dengan setiap orang yang lain, kita akan memperlakukan sesama dengan kebaikan dan perhatian yang sama seperti kita ingin diperlakukan . Hal ini harus berlaku dalam kehidupan bersama di masyarakat, bukan hanya dalam hubungan hubungan pribadi kita. Kita harus belajar untuk melihat komunitas-komunitas yang lain sama seperti komunitas kita, yang berhak atas kepentingan-kepentingan yang sama sebagaimana yang kita inginkan terhadap kelompok kita.
Panggilan terhadap etika yang berpusatkan pada dunia ini tidak berkembang dari idealisme etis atau pikiran yang dipenuhi keinginan (pribadi), tetapi berdasarkan pada fondasi pragmatik yang solid. Dalam jangka panjang, mengejar kepentingan diri yang sempit dalam lingkaran yang luas selalu mengganggu kepentingan jangka panjang kita yang nyata; karena dengan mengadopsi sebuah pendekatan yang demikian kita berkontr ibusi dalam perpecahan di masyarakat dan perusakan ekologis, dengan demikian memotong cabang pohon dimana kita duduk. Rendahkanlah kepentingan diri yang sempit untuk kebaikan umum (bersama), yang pada akhirnya, untuk kebaikan nyata kita sendiri, yang sangat bergantung pada harmoni di masyarakat, keadilan ekonomi, dan lingkungan yang kondusif.
Buddha menyatakan bahwa di antara segala sesuatu di dunia, sesuatu yang memiliki pengaruh paling kuat untuk kebaikan dan keburukan adalah pikiran. Kedamaian sejati di antara orang-orang dan bangsa-bangsa bertolak dari kedamaian dan kemauan baik yang ada di dalam hati umat manusia. Kedamaian yang demikian tidak dapat dimenangkan hanya dengan kemajuan material, perkembangan ekonomi dan inovasi di bidang teknologi, tetapi menuntut perkembangan moral dan mental. Bahwa dengan mengubah diri sendiri kita dapat mengubah dunia kita ke arah kedamaian dan persahabatan. Jadi, supaya umat manusia di planet ini hidup bersama dengan damai, tantangan di depan kita yang tak dapat dihindari adalah mengerti dan menguasai diri kita sendiri.
Ini berarti bahwa ajaran Buddha menjadi sangat cocok dengan zaman, bahkan untuk mereka yang tidak siap untuk merangkul sepenuhnya keyakinan dan doktrin religius Buddhis. Dalam diagnosisnya terhadap kotorankotoran batin sebagai sebab pokok terjadinya penderitaan manusia, ajaran ini menunjukkan kepada kita akar-akar dari masalah masalah pribadi dan kolektif kita yang tersembunyi. Dengan menunjukkan sebuah cara praktik untuk latihan moral dan mental, ajaran-ajaran tersebut menawarkan kepada kita sebuah resep yang efektif untuk mengatasi pelbagai problem dunia di satu tempat dimana mereka dapat diakses secara langsung untuk kita: di dalam pikiran kita.
Ketika kita memasuki milenium baru. Ajaran Buddha menyediakan bagi kita semua -tanpa memandang keyakinan religius kita- bimbingan yang kita butuhkan untuk membuat dunia kita menjadi sebuah tempat yang lebih damai dan lebih cocok untuk dihuni.

Sumber :
Dhamma Citta
Perpustakaan eBook Buddhis
http://www.DhammaCitta.org

EMPAT KEBENARAN (KESUNYATAAN) MULIA



Ajaran Buddha didasarkan pada Empat Kebenaran Mulia.
Apakah Empat Kebenaran Mulia itu?
1. Kebenaran Mulia tentang Dukkha
2. Kebenaran Mulia tentang sebab dari Dukkha
3. Kebenaran Mulia tentang berakhirnya Dukkha
4. Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya Dukkha
Kita dapat menganalogikan Kebenaran Mulia yang ditemukan oleh Buddha Gautama dengan perumpamaan seorang dokter. Ketika seorang pesakit datang menemui seorang dokter, maka dokter yang baik akan memeriksa apakah benar orang tersebut sedang sakit. Langkah kedua; setelah memastikan bahwa si pasien memang sakit, si dokter akan memeriksa apa penyebabnya. Nah, setelah mengetahui apa penyebab si pasien menjadi sakit, dokter yang baik harus bisa melihat bahwa sakit itu bisa disembuhkan. Dan untuk bisa disembuhkan, maka si dokter akan memberikan resep kepada si pesakit agar pesakit itu menjadi sembuh. Masih banyak orang yang menganggap bahwa ajaran Buddha adalah ajaran yang pesimistis. Mengapa demikian? Hal itu lebih disebabkan karena mereka tidak
melihat ajaran Buddha secara utuh, hanya setengah-setengah. Ajaran Buddha boleh saja disebut ajaran yang pesimis hanya bila apa yang diajarkan oleh Buddha Gautama berhenti pada tahap 1 (mengetahui
bahwa seseorang sedang sakit), tahap 2 (mengetahui sebabnya), atau tahap 3 (mengetahui bahwa sakit itu bisa disembuhkan). Tetapi Buddha Gautama juga mengajarkan tahap 4 sebagai puncak dari apa yang diketahuinya, yaitu menawarkan sebuah resep bagi si pesakit agar sembuh. Dengan demikian ajaran Buddha bukanlah ajaran yang pesimistis, namun sangat realistis.
Kebenaran Mulia tentang Dukkha
Dukkha dalam bahasa Pali (bahasa India kuno) memiliki pemahaman yang sangat mendalam, namun secara umum kata dukkha diterjemahkan sebagai ‘penderitaan’ atau ‘ketidakpuasan’ (walau sebagian orang pun kurang setuju dengan pengertian diatas; ada pula yang beranggapan bahwa dukkha = duka dalam bahasa Indonesia). Harus diakui bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah dukkha. Mengapa demikian? Karena pengertian dukkha juga mencakup hal yang lebih mendalam, seperti ketidaksempurnaan, sakit, ketidakabadian, ketidaknyamanan, maupun ketidakpuasan. Dengan demikian tidak ada seorang pun yang dapat menyanggah bahwa hidup ini memang merupakan dukkha. Selalu terdapat ketidakpuasan, ketidaknyamanan, maupun ketidakabadian. Segala sesuatu akan terus berubah, bahkan terhadap hal-hal yang kita sebut sebagai sukkha (mirip dengan kata ‘suka’ dalam bahasa Indonesia) atau kesenangan. Inilah prinsip dasar dari Kebenaran Mulia yang pertama.
Kebenaran Mulia tentang Sebab dari Dukkha
Sumber dari dukkha adalah tanha (nafsu keinginan yang tiada habisnya) dan avijja (ketidaktahuan). Oleh karena adanya ketidaktahuan inilah maka seseorang akan terus dan terus memupuk (bernafsu) pengalaman yang menyenangkan atau tidak, nafsu akan benda-benda material, nafsu akan hidup abadi (eksistensi terusmenerus), termasuk pula nafsu akan kematian abadi (pemusnahan diri). Apa bahaya dari ketidaktahuan (avijja)? Ketidaktahuan akan menyebabkan seseorang menjadi tidak mampu memahami esensi dari hidup itu sendiri. Ketidaktahuan akan menutupi celah-celah bagi seseorang untuk bisa melihat realitas hidup ini. Oleh karena itu keinginan yang berlebihan/keserakahan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja) keduanya akan menyebabkan seseorang terus berputar dalam penderitaan hidup.
Kebenaran Mulia tentang Berakhirnya Dukkha
Dukkha sebagai salah satu sifat sejati segala sesuatu yang berkondisi ternyata memiliki akhir. Proses terhentinya dukkha inilah yang dinamakan oleh umat Buddha sebagai Nibbana atau Nirwana.  Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa Nirwana itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tidak
bisa diwujudkan dalam kehidupan saat ini. Apabila demikian, maka itu bukanlah Nirwana menurut konsep buddhisme. Beranggapan demikian hanya akan membuat pengertian tentang Nirwana tidak jauh berbeda dari pengertian Tuhan. Kita meyakini bahwa apa yang Buddha Gautama ajarkan adalah hal-hal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini juga. Sang Buddha tidak mengajar untuk kepentingan kehidupan setelah mati, tetapi Beliau mengajarkan untuk kepentingan kehidupan saat ini. Untuk itu Sang Buddha sendiri telah mengartikan Nirwana sebagai lenyapnya keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Dan Beliau menyatakan bahwa Nirwana dapat direalisasikan (dialami) pada saat ini juga—dalam kehidupan sehari-hari.
Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
Sebagai solusi dari penderitaan yang dialami manusia, Buddha Gautama menawarkan sebuah jalan universal yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia. Jalan ini disebut sebagai Hasta Ariya Magha atau Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Mengembangkan Kebijaksanaan (Pañña)
1. P a n d a n g a n Benar
Pandangan hidup yang selaras dengan kebenaran sejati (relalitas), yakni: Empat Kebenaran Mulia, Tiga Corak Kehidupan (Tilakkhana), Kesalingterkaitan Antar Segala Sesuatu (Paticca-Samuppada), dan Hukum Sebab-Akibat (Karma)
2. Pikiran Benar
Pikiran yang bebas dari keserakahan, kebencian, dan kekejaman/kekerasan.
M e j a l a n k a n Moralitas (Sila)
3. Ucapan Benar
Ucapan yang memenuhi 4 syarat:
1.Ucapan itu benar (sesuai kenyataan),
2.Ucapan itu beralasan (ada tujuan),
3.Ucapan itu bermanfaat, dan
4.Ucapan itu tepat pada waktunya
4. P e r b u a t a n Benar
Adalah perbuatan yang menghindari pembunuhan, pencurian, dan asusila
5. Pencaharian Benar
Terdapat 5 sifat mata pencaharian yang harus dihindari: penipuan, ketidaksetiaan, penujuman, kecurangan, dan memungut bunga yang tinggi (lintah darat)
Terdapat pula 5 macam pencaharian yang harus dihindari: berdagang alat senjata, makhluk hidup, daging, minum-minuman yang memabukkan, serta berdagang racun
Melatih Pikiran (Samadhi)
6. Daya Upaya Benar
Terdiri dari 4 unsur, yaitu: mencegah munculnya unsur-unsur jahat, melenyapkan unsur-unsur jahat yang sudah ada, membangkitkan unsur-unsur baik, dan mengembangkan unsur-unsur baik yang sudah ada
7. P e r h a t i a n Benar
Perenungan terhadap tubuh, perasaan, kesadaran, dan bentuk-bentuk pikiran
8. K o n s e n t r a s i Benar
Pemusatan pikiran sebagai bentuk latihan untuk melatih kesadaran, kontrol pikiran dari emosi, pemusatan pikiran untuk ketenangan dan pelatihan

Hukum Karma Dan Tumimbal Lahir



DOKTRIN KELAHIRAN KEMBALI

Apakah ada kehidupan sebelum kelahiran ? Akankah ada kehidupan setelah kematian ? Ini adalah pertanyaan – pertanyaan yang perlu dibicarakan secara serius dan tenang. Pertanyaan – pertanyaan yang memiliki kepentingan filosofis seperti itu harus dipertimbangkan dengan segenap pemikiran manusia secara objektif dan tanpa prasangka, tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadinya. Seseorang mestinya jangan gegabah dalam menyangkal atau menerima kebenaran yang hanya dinilai dari permukaan luarnya saja. Diperlukan penyelidikan terhadap kebenaran – kebenaran itu sebelum sampai pada kesimpulan. Banyak fenomena batin yang luar biasa yang terjadi di hadapan kita, yang tidak dapat diterangkan atau dijelaskan secara memuaskan oleh para ahli ilmu pengetahuan. Namun, mereka tidak secara gegabah mencela apa yang tidak dapat mereka jelaskan. Bagaimanapun, menyangkut perpaduan jasmani dan rohani manusia, terdapat keajaiban – keajaiban yang belum diselidiki yang menyibukkan para ahli ilmu pengetahuan selama bertahun – tahun.
SUDUT PANDANG.
Apakah Tuhan itu ada ? Apakah jiwa itu sesuatu yang nyata ? Apakah ada kehidupan yang lampau dan kehidupan setelah kematian ? Apa yang terjadi kepada manusia ketika ia meninggalkan kehidupan ini, tempat kediaman yang sementara ini ? Di manakah letak kehidupan yang akan datang dan apa bentuk alamnya ? Ini juga merupakan sebagian dari banyak persoalan yang telah membingungkan para pemikir dan orang bijaksana sepanjang zaman.
Menghadapi pertanyaan : “ Adakah kehidupan setelah kematian ? “, sebelum mencoba untuk memberikan jawaban menurut agama Buddha, ajaran Buddha yang sangat fundamental dan penting harus dijelaskan terlebih dahulu, karena tanpa memahaminya, konsep agama Buddha mengenai kehidupan setelah kematian sama sekali tak berarti. Seluruh ajaran Buddha sepenuhnya bebas dari pemikiran mengenai sesosok pencipta yang kekal yang memberi pahala dan hukuman atas perbuatan baik dan perbuatan jahat yang dilakukan oleh mahkluk hidup. Tiada pula pemikiran mengenai diri yang kekal atau diri yang tidak dapat dihancurkan. Tidak adanya kedua hal ini merupakan sifat utama dari agama Buddha, baik Theravada ataupun Mahayana.
Apakah ada kehidupan setelah kematian, bukanlah sebuah pertanyaan di hari ini ataupun kemaren. Berbagai agama, baik yang kuno maupun modern, dan sistem – sistem filsafat yang lain dari itu, yang materialistis ; yang menyatakan bahwa seseorang itu tidak memiliki apa – apa dan akan musnah pada saat kematian, menjawab pertanyaan ini dari sudut pandang yang berbeda dalam berbagai cara. Agama Buddha membenarkan adanya lingkaran kehidupan, kelahiran yang berulang – ulang, samsara, istilah teknisnya. Ini bukanlah teori kehidupan setelah kematian.
Secara logis terdapat empat sudut pandang yang dapat kita gunakan menanggapi pertanyaan mengenai kelangsungan hidup atau kelahiran kembali. Kita dapat mengatakan : ( 1 ) bahwa kita terus hidup setelah kematian dalam bentuk roh yang kekal, contohnya teori satu kehidupan setelah kematian ; ( 2 ) bahwa kita dimusnahkan dengan kematian, contohnya teori materialistis, yang menyangkal segala bentuk kehidupan setelah kematian ; ( 3 ) bahwa kita tidak mampu untuk menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini atau tidak ada jawaban yang memuaskan, contohnya teori skeptisisme atau positivisme ; dan ( 4 ) bahwa kita hidup lagi pada kehidupan yang berikutnya atau hidup di alam lain, contohnya teori kelahiran kembali. Kitab suci agama Buddha mencatat beberapa variasi dari keempat bentuk teori ini masing – masing.
Penganut materialistis di sepanjang masa percaya bahwa tidak ada yang hidup terpisah dari zat materi. Mereka mengabaikan pertanyaan mengenai kehidupan sebelum kelahiran dan kehidupan setelah kematian sesuai dengan kepercayaan yang mereka yakini. Bagi mereka pikiran pun merupakan hasil dari zat, dan mereka percaya bahwa setelah kematian badan jasmani, eksistensi “ personalitas “ juga berakhir.
Teori agama Buddha mengenai kelahiran kembali atau tumimbal lahir ( punabbhava ) bersumber dari Penerangan Sempurna yang dicapai oleh Buddha dan bukan dari kepercayaan tradisional India. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab suci agama Buddha ( Mahasaccaka Sutta, Majjhima Nikaya ) pada malam tercapainya Penerangan Sempurna Buddha memperoleh kemampuan untuk mengetahui kehidupan – kehidupan – Nya yang lampau. Kala itu ketika pikiranNya tenang, bersih, suci dan tanpa cacat, bebas dari kotoran yang mencemari, lentur dan fleksibel, mantap dan tak goyah, Beliau memperoleh kemampuan untuk mengingat kembali kehidupan – kehidupanNya yang terdahulu.
Dengan menggunakan kemampuan mata batin – Nya ( dibbacakkhu ), Buddha dapat melihat antara lain, kelangsungan hidup dari makhluk hidup dalam berbagai keadaan kehidupan, setiap keadaan sesuai dengan karma atau perbuatannya.
Menarik untuk diperhatikan bahwa penelitian terbaru dalam bidang psikologi telah mengakui apa yang disebut supernormal. Minat terhadap masalah yang melebihi jangkauan indra ( persepsi ekstrasensori ) dalam percobaan psikologi lambat laun mendapat kemajuan, dan hasil – hasil yang dicapai agaknya di luar pemahaman biasa.
Kasus – kasus mengenai anak – anak yang dapat mengingat kehidupannya yang lampau mendapat sorotan bukan hanya di negara – negara Asia seperti Myanmar, India, Sri Lanka ( Ceylon ) dan negara – negara timur lainnya, melainkan juga di negara – negara barat. Dr. Ian Stevenson, M.D dari Universitas Virginia USA telah menerbitkan hasil – hasil dari penyelidikan dan penelitiannya dalam beberapa buku, dua diantaranya berjudul : Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, dan Sri Lanka Cases of Reincarnation Type.
Perhatikan juga dua buku lainnya : Reincarnation – An East – West Anthology dan Reincarnation in World Thought – A Living Study of Reincarnation in all Ages, tulisan – tulisan pilihan dari kalangan berbagai agama dunia, filsafat, ilmu pengetahuan serta pemikir besar di masa lampau dan sekarang, disusun dan disunting oleh Joseph Head dan S.L. Cranston, Julian Press Inc, New York, 1961 dan 1967.
Para ahli filsafat Yunani kuno seperti Empedocles dan Pythagoras juga mengajarkan ajaran mengenai kelahiran kembali dan plato membuatnya sebagai asumsi penting dalam filsafatnya.

BUKTI KELANGSUNGAN HIDUP

Belakangan ini penemuan dalam bidang psikologi telah membuktikan bagaimana di bawah pengaruh hipnotis, seseorang kembali ke masa kanak – kanak yang telah dialami sebelumnya, dan menyadari lagi pengalaman yang telah lama terkubur di bawah sadarnya. Ingatan tentang awal masa kecil, dan dalam beberapa kasus ingatan sebelum kelahiran, telah terbawa keluar dengan cara ini. Beberapa orang mengingat kembali saat – saat paling awal dari masa kanak – kanaknya dan dalam beberapa kasus mengingat kembali masa kehidupan lampau. Kenyataan – kenyataan ini telah di buktikan. Kemudian ada pula kasus – kasus anak yang secara spontan dapat mengingat kembali ingatan – ingatan dari kehidupan mereka yang lampau tanpa pengaruh hipnotis. Dr. Stevenson dalam bukunya, The Evidence of Survival from Claimed Memories of Former Incarnations telah menguraikan beberapa kasus dengan ingatan spontan mengenai kehidupan yang lampau. Kasus – kasus ini, yang ia uraikan lengkap berasal dari berbagai negara seperti Kuba, India, Prancis dan Sisilia. Dalam bagian II dari bukunya ia menganalisis bukti sebagai usaha untuk mempertimbangkan kalau – kalau mungkin ada penjelasan tentang ingatan mengenai kehidupan lampau ini, seperti penipuan, daya ingatan berdasarkan ras, persepsi ekstrasensori, rekognisi dan prekognisi.
Terdapat juga bukti mengenai kelangsungan hidup yang berasal dari penelitian dalam bidang spiritualisme. Agama Buddha menunjukkan bahwa seseorang dapat dilahirkan kembali di alam halus sesuai dengan karma perbuatan orang itu. Lalu seberapa jauh kepercayaan tentang adanya arwah orang yang sudah meninggal itu benar ? Apakah itu merupakan kenyataan yang dapat dibuktikan ? Sebagian orang mungkin bertanya bagaimana kita tahu bahwa ada kehidupan setelah kematian ? Siapakah orang yang telah bangkit dari kematiannya lalu memberitahu kita seperti apa dunia yang selanjutnya ? Orang – orang seperti itu tidak menyadari tentang adanya penelitian ilmiah yang telah dilakukan dan bukti yang diperoleh organisasi – organisasi seperti London Psychical Research Society yang didirikan pada tahun 1882 oleh kelompok lulusan Cambridge.
HUKUM PERUBAHAN YANG ABADI
“ Reinkarnasi “ kata yang lebih dikenal di Barat berarti mengisi kembali badan jasmani ( penitisan ) dengan satuan batin. “Transmigrasi“ berarti perpindahan jiwa abadi satu badan jasmani ke badan jasmani yang lain, yang maksudnya sama aja. Tidak satu pun dari kedua kata di atas yang sesuai untuk menyampaikan konsep dari agama Buddha, yang tidak mengenal kesatuan rohani yang tak berubah, tidak ada “diri“ atau “roh“ yang kekal. Kata “kelahiran kembali ( rebirth )“ adalah kata yang umum digunakan oleh kalangan penulis Buddhis. Istilah ini paling mendekati dan hampir tepat, tetapi bukan pula kata yang sepenuhnya memuaskan.
Bagaimanapun, kata kelahiran kembali tidak digunakan oleh para penulis Buddhis dalam arti bahwa terdapat sesuatu yang kekal yang setelah kematian menempati badan jasmani lagi. Istilah bahasa Pali dalam naskah Buddhis adalah punabbhava yang berarti tumimbal lahir atau pembaharuan kembali eksistensi.
Hukum atau prinsip tertentu harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam usaha untuk memahami ajaran kelahiran kembali atau kelangsungan hidup. Hukum atau prinsip dasar pertama yang harus diuji dalam usaha untuk memahami kelahiran kembali adalah hukum perubahan ( anicca ). Hukum ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang kekal atau abadi. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan sasaran dari hukum perubahan yang universal dan tanpa henti ini. Ketika melihat air sungai, seseorang mungkin berpikir bahwa semuanya sama, tetapi tidak ada setetes air pun yang dilihat seseorang pada saat mana saja tetap di tempatnya sama dengan sesaat yang lalu. Bahkan seseorang yang terlihat diam tidaklah sama pada dua saat yang berurutan. Kita hidup dalam dunia yang selalu berubah sementara kita sendiri juga ikut mengalami perubahan. Ini merupakan hukum abadi. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Buddha : “ Segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur dan berkondisi, yang hidup atau mati, adalah tidak kekal “ ( sabbe sankhara anicca ).
Ciri yang penting dari hukum perubahan ini adalah walau segala sesuatu merupakan sasaran perubahan, tidak ada yang pernah musnah atau lenyap. Hanya bentuknya yang berubah. Jadi zat padat dapat berubah menjadi zat cair dan zat cair menjadi gas, tetapi tidak satu pun yang sesungguhnya benar – benar hilang. Zat materi adalah cerminan energi dan yang semacam itu tidak akan pernah dapat musnah atau lenyap sesuai dengan prinsip ilmu pengetahuan, yang juga disebut dengan hukum kekekalan energi.
Ciri penting lainnya dari hukum perubahan adalah tidak adanya pembedaan dan garis pemisah yang membatasi antara satu kondisi atau keadaan dengan kondisi atau keadaan yang selanjutnya. Setiap penggabungan membentuk keadaan yang selanjutnya. Bayangkan ombak di laut yang naik dan turun. Setiap kali ombak yang naik lalu turun memberikan kesempatan pada ombak lain bergerak, yang juga naik lalu turun untuk memberikan kesempatan pada ombak yang lain lagi, setiap ombak menyatu membentuk ombak yang selanjutnya. Disini tidak ada garis pembatas antara ombak yang satu dan ombak yang selanjutnya. Demikian pula dengan segala perubahan kondisi di dunia ini. Jadi perubahan merupakan proses yang terus menerus, perubahan atau aliran yang tanpa henti – suatu pemikiran yang sangat selaras dengan pemikiran ilmu pengetahuan modern.
Dua hukum atau prinsip dasar lain yang harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam usaha untuk memahami kelahiran kembali adalah hukum pembentukan dan hukum kontinuitas. Sementara hukum perubahan menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang kekal, tetapi selalu mengalami perubahan, hukum pembentukan menyatakan bahwa segala sesuatu, setiap saat, mengalami proses pembentukan menjadi benda lain. Jadi hukum pembentukan adalah akibat wajar atau kelanjutan yang sewajarnya dari hukum perubahan. Tidak pada saat kapan pun sesuatu tidak mengalami proses pembentukan menjadi sesuatu yang lain. Pembentukan yang tanpa henti merupakan ciri dari semua benda. Ciri inilah yang selalu ada mendasari segala perubahan.
Hukum kontinuitas bergantung pada hukum pembentukan. Pembentukan menimbulkan kelanjutan, dan oleh karena itu, hukum kontinuitas merupakan akibat wajar, kelanjutan yang sewajarnya dari hukum pembentukan. Karena terdapat kelanjutanlah maka seseorang tidak dapat melihat garis pemisah yang jelas antara satu kondisi atau keadaan dengan kondisi yang selanjutnya.
Hukum aksi dan reaksi adalah hukum atau prinsip dasar lain yang harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam usaha untuk memahami kelahiran kembali. Hukum ini menyatakan bahwa setiap aksi pasti menghasilkan reaksi. Prinsip bahwa suatu hasil mengikuti suatu aksi ini diterapkan pada semua bentuk aksi apakah aksi itu disebabkan alamiah atau karena manusia. Ini merupakan hukum universal yang diterapkan baik di dunia fisik maupun dunia mental. Hukum ini juga disebut hukum sebab dan akibat. Ketika hukum ini dihubungkan dengan perbuatan yang dilakukan umat manusia, hukum ini disebut sebagai hukum karma, dan dalam pengertian inilah yang harus kita pertimbangkan di sini.
Jika kelahiran kita yang sekarang ini adalah awal dan kematian kita adalah akhir dari kehidupan ini, kita tidak perlu khawatir atau harus memahami masalah penderitaan atau ketidakpuasan. Tata – tertib moral di alam semesta, realitas dari kebenaran atau ketidakbenaran, mungkin tidak memiliki arti penting bagi kita. Menikmati kepuasan dan menghindari ketidakpuasan bagaimanapun juga sepertinya merupakan hal yang bijaksana untuk dilakukan pada masa hidup yang singkat ini. Tetapi, pandangan ini tidak menjelaskan ketidaksamaan manusia seluruhnya, dan pada umumnya manusia sadar akan moral yang menghasilkan akibat, karena manusia ingin mencari penyebab dari penderitaan ini.

HUKUM KARMA

Ajaran agama Buddha tentang karma harus dibedakan dari ajaran non Buddhis mengenai karma yang diajarkan oleh para pemikir non Buddhis pada masa sebelum, masa yang sama dan bahkan masa sesudah Buddha. Karma adalah hukum moral yang menimbulkan akibat yang menentukan nasib setiap makhluk hidup dan menyebabkan kelahiran kembali.
Kata “kamma“ dalam bahasa Pali, dan kata “karma“ dalam bahasa Sansekerta, memiliki arti yang sama, secara harfiah berarti “aksi“ atau “perbuatan“. Akan tetapi, tidak semua aksi dianggap sebagai karma. Pertumbuhan rambut dan kuku serta pencernaan makanan, merupakan contoh dari aksi yang demikian, bukan merupakan karma. Aksi refleks juga bukan termasuk karma, tetapi merupakan kegiatan tanpa makna moral.
Sebagai istilah teknis, kata “kamma“ digunakan dalam naskah Buddhis awal untuk menyatakan perbuatan yang dilakukan dengan kehendak ( sankhara ). Perbuatan – perbuatan ini dapat berupa kusala, yaitu perbuatan baik ; atau akusala, yaitu perbuatan jahat ; atau avyakata yaitu, perbuatan netral. Terdapat perbuatan yang diekspresikan melalui badan jasmani ( kaya – kamma ), perkataan ( vacikamma ) dan pikiran ( manokamma ). Dengan kata lain perbuatan dapat merupakan tindakan badan jasmani, perkataan ataupun pikiran. Perbuatan yang dilakukan dengan adanya kehendaklah yang kita sebut karma. Jadi kata karma digunakan untuk menunjukkan kegiatan yang dilakukan dengan adanya kehendak yang diekspresikan melalui pikiran, ucapan dan tindakan badan jasmani, yang baik maupun jahat dan menimbulkan tanggung jawab atas akibat – akibatnya yang sebagian menentukan kebaikan ataupun kejahatan dari perbuatan – perbuatan ini. Karma adalah perbuatan. Hasil dari perbuatan di sebut kamma – vipaka. “ Dengan adanya keinginan, manusia melakukan perbuatan melalui badan jasmani, ucapan atau pikiran, dan mereka akan menerima akibatnya. Semua makhluk adalah pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatannya ( karma ) sendiri, menjadi ahli waris dari karmanya sendiri, lahir dari karmanya (penyebab bawaannya), berhubungan dengan karmanya (sanak keluarganya), terlindung oleh karmanya sendiri. “
Permainan tanpa akhir dari karma dan kamma – vipaka, aksi dan re – aksi, sebab dan akibat, benih dan buah ini, berlanjut dalam gerakan tanpa henti, dan ini menjadi suatu proses perubahan fenomena kehidupan jasmani dan rohani secara terus menerus ( samsara ).
Jelas sudah, karma adalah kemauan yaitu kehendak, suatu kekuatan. Dengan adanya keinginan, manusia melakukan perbuatan melalui badan jasmani, ucapan dan pikiran, dan aksi menghasilkan reaksi. Keinginan menimbulkan perbuatan, perbuatan menghasilkan akibat, akibat pada gilirannya akan menghasilkan keinginan baru. Proses sebab dan akibat, aksi dan reaksi ini merupakan hukum alam.
Cara kerja karma memiliki ciri keadilan yang sempurna karena karma adalah “ahli hitung“ yang cermat. Oleh karena itu setiap orang akan mendapat ganjaran yang sesuai, yang patut diterimanya.
Karma dengan sendirinya merupakan hukum, tanpa perlu adanya pemberi hukuman. Perantara dari luar, suatu kekuatan tak terlihat yang memberi hukuman atas perbuatan jahat dan memberi pahala atas perbuatan baik tidak dikenal dalam pemikiran Buddhis. Manusia selalu berubah menjadi baik atau jahat. Perubahan ini tak dapat dihindari dan sepenuhnya tergantung pada keinginannya sendiri, perbuatannya sendiri. Ini semata – mata merupakan hukum alam universal mengenai kekekalan energi yang dikembangkan ke bidang moral.
Walaupun secara populer dianggap bahwa menurut hukum karma perbuatan diikuti dengan akibatnya, harus diketahui bahwa faktor penyebab lain juga ikut berperan dan sering kali hasil gabungannya yang menentukan akibat. Suatu sebab yang tunggal tidak dapat menghasilkan satu akibat apalagi banyak akibat.
Menurut agama Buddha, segala sesuatu tidak terjadi tanpa sebab (a–hetuka) atau dikarenakan oleh satu sebab tunggal (eka–hetuka). Sejumlah fakta bekerja dalam menimbulkan kondisi yang dialami manusia. Segala sesuatu timbul karena kondisi – kondisi yang saling bergantungan (paticca– samuppada), dan manusia dengan pengetahuan alam serta pengetahuan mengenai dirinya, dapat memahami, mengendalikan dan menguasainya.
Hubungan karma tidak ditetapkan sebelumnya ( deterministis ), bukan telah digariskan oleh nasib dan tak dapat dihindari ( fatalistis ). Karma adalah salah satu dari banyak faktor yang menimbulkan kondisi apa yang dialami secara alamiah, dan karma yang lampau dapat diakhiri dan diubah dalam hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan seseorang pada saat ini. Kiranya tidak perlu dijelaskan bahwa ajaran agama Buddha mengenai karma bukan fatalistis. Dapat dicatat agama Buddha menentang segala bentuk ajaran yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan sebelumnya ( determinisme ) : determinisme alamiah ( sabhavavada ), determinisme teistis ( issarakaranavada ) dan determinisme karma ( pubbakammavada ), yang menghubungkan segalanya dengan karma yang lampau ataupun salah satu dari perpaduan di atas.
Menurut agama Buddha, manusia dikondisikan oleh hukum biologisnya (bijaniyama), hukum lingkungan dan jasmaninya (utuniyama), hukum psikologisnya (cittaniyama), termasuk karma yang diwarisinya (kammaniyama) ; ia tidak ditentukan oleh salah satu ataupun seluruh hukum di atas. Ia memiliki unsur kemauan bebas (attakara) atau usaha pribadi (purisakara). Dengan melatihnya, ia dapat mengubah sifat dasarnya maupun lingkungannya ( dengan memahaminya ) demi kebaikan sendiri maupun orang lain.
LINGKARAN KEHIDUPAN.
Tidak banyak ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk memahami bagaimana aksi menghasilkan reaksi, bagaimana akibat mengikuti sebab dan benih menghasilkan buah, tetapi bagaimana kekuatan karma yang besar ini, perbuatan karena adanya kehendak, berbuah dalam kelahiran yang akan datang setelah kematian jasmani ini, sulit untuk dipahami.
Menurut agama Buddha tak ada kehidupan setelah kematian ataupun kehidupan sebelum kelahiran yang terlepas dari karma atau perbuatan karena adanya kehendak. Karma dan kelahiran kembali berjalan seiring, karma merupakan akibat wajar atau kelanjutan yang sewajarnya dari kelahiran kembali dan begitu pula sebaliknya. Namun, di sini kita harus mengerti bahwa doktrin Buddhis mengenai karma bukanlah ajaran yang bersifat filosofis yang di dalamnya perbuatan manusia tidaklah bebas melainkan ditentukan oleh sebab – sebab tertentu yang dipandang sebagai kekuatan dari luar yang bertindak melalui keinginan atau telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan ataupun kekuatan lain dari luar. Tidak ada surga abadi maupun neraka abadi dalam pemikiran Buddhis. Kelahiran diikuti dengan kematian dan kematian juga diikuti dengan kelahiran, jadi pasangan di atas saling mengikuti satu sama lain dalam rangkaian yang menakjubkan. Tetapi, tak ada diri yang kekal atau satuan hidup yang tetap yang berpindah dari satu kelahiran ke kelahiran lainnya. Walaupun manusia merupakan paduan jasmani – rohani dari kesatuan materi dan batin, “ jiwa “ atau batin manusia bukanlah roh atau diri dalam arti satuan hidup yang abadi, sesuatu yang tetap adanya dan kekal. Batin adalah kekuatan, suatu rangkaian kesatuan yang dinamis yang mampu menyimpan ingatan – ingatan bukan hanya dari kehidupan ini, tetapi juga dari kehidupan lampau.
Roh atau diri yang kekal yang dikemukakan oleh agama – agama lain dalam kitab – kitab Buddhis disebut sebagai atta atau dalam bahasa Sansekerta atma. Penyangkalan terhadap adanya roh atau diri disebut anatta dalam bahasa Pali atau anatma dalam bahasa Sansekerta. Ajaran agama Buddha tentang anatta yaitu tidak adanya diri atau roh, tidak menyangkal adanya personalitas atau individualitas. Agama Buddha menyatakan bahwa tidak ada individualitas yang kekal, tidak ada jiwa atau diri yang tetap. Personalitas atau individualitas menurut agama Buddha, bukanlah suatu satuan hidup, tetapi merupakan proses timbul dan lenyap, proses memberi makan, pembakaran, ketamakan, tetapi tidak dapat disamakan dengan satuan hidup yang tetap.
Dalam pemikiran Buddhis tidak ada awal mula dari yang tak ada. Tidak ada yang tanpa sebab. Segalanya, yang hidup ataupun mati, berawal mula melalui sebab, segalanya memiliki kondisi. Namun, agama Buddha tidak membicarakan sebab yang pertama. Awal pertama dari urut – urutan kehidupan mahkluk hidup tidak dapat dijelaskan dan sebagaimana yang dikatakan oleh Buddha : “ Roda kehidupan ini, lingkaran yang tidak terputus ini, tidak memiliki akhir yang jelas, dan awal pertama dari mahkluk hidup, sebab pertama, tidak dapat diketahui. “
Ketika Buddha menekankan bahwa apa yang disebut “ mahkluk hidup “ atau “ manusia “ tidak lain adalah perpaduan dari badan jasmani dan kekuatan atau energi batin, yang berubah tanpa henti, bukankah Beliau telah mendahului ilmu pengetahuan modern dan ilmu psikologi modern dua puluh lima abad sebelumnya ?
Kehidupan jasmani – rohani ini mengalami perubahan tanpa henti, membentuk proses jasmani – rohani baru setiap saat, sehingga mempertahankan kemampuan proses badan jasmani di masa yang akan datang, dan tidak meninggalkan kekosongan di antara satu saat dan saat berikutnya. Kita hidup dan mati setiap saat dalam kehidupan kita. Semata – mata hanya terbentuk dan lenyap, timbul dan tenggelam bagaikan ombak di laut.
Perubahan tanpa henti, proses jasmani – rohani tersebut yang jelas bagi kita dalam kehidupan ini, tidak terhenti pada saat kematian, tetapi terus berlanjut tanpa henti. Arus tanpa henti dari batin yang dinamis ini dikenal sebagai kehendak, kemauan, hasrat atau nafsu keinginan ( tanha ) yang merupakan kekuatan karma. Kekuatan besar ini, keinginan untuk hidup, membuat hidup terus berlanjut. Menurut agama Buddha, bukan hanya kehidupan manusia, tetapi seluruh kesadaran dunia ditarik oleh kekuatan yang luar biasa ini – batin ini dengan faktor kejiwaannya, baik ataupun buruk.
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, menurut ajaran materialistis, manusia berhenti hidup pada saat kematian. Namun, menurut agama Buddha, kekuatan dan energi tidak berhenti pada saat kematian ; tidak ada kekuatan yang pernah hilang, selalu mengalami perubahan. Energi tidak berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi dapat berhenti untuk hidup di satu tempat dan mulai hidup lagi di tempat lain. Dalam diri manusia kekuatan terbesar adalah keinginannya untuk hidup, melanjutkan hidup, menjadi lebih dan lebih lagi. Kekuatan ini tidak hilang pada saat kematian. Kekuatan itu hidup, memulai lagi dan terbentuk kembali dalam keadaan baru berpadu dengan sendirinya. Memulai lagi perubahan penting tanpa henti ini dalam keadaan baru disebut dengan kelahiran kembali, tumimbal lahir atau pembaharuan kembali eksistensi.
Proses karma ( kammabhava ) adalah kekuatan yang datang dari kehidupan sekarang, mempersiapkan kehidupan yang akan datang dalam rangkaian tanpa akhir. Dalam proses ini tak ada yang meninggal dunia di sini dan lahir di tempat lain, seseorang bukan orang yang sama, bukan juga orang yang sepenuhnya berbeda ( na ca so na ca anno ). Kemungkinan logis dari identitas pribadi tanpa roh itu diakui oleh Profesor A.J. Ayer dari Oxford, seorang analis logika yang mengatakan : “ Saya pikir akan terbuka bagi kita untuk mengakui kemungkinan logis dari reinkarnasi hanya dengan menetapkan kaidah bahwa jika seseorang yang secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup pada waktu belakangan, memiliki ingatan – ingatan nyata dan sifat dari seseorang yang secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup pada waktu sebelumnya, mereka seharusnya dihitung sebagai satu orang dan bukan dua. “
ALIRAN KESADARAN.
Kesadaran di momen terakhir ( cuti citta atau cuti vinnana ) milik kehidupan sebelumnya ; dengan cepat berlanjut setelah padamnya kesadaran itu. Karena telah terkondisikan maka timbul momen pertama dari kesadaran pada kelahiran yang sekarang yang disebut hubungan kembali atau kelahiran kembali dari kesadaran ( patisandhivinnana ). Demikian pula momen pikiran terakhir dari kehidupan ini mengondisikan momen pikiran pertama dari kehidupan yang selanjutnya. Dengan cara ini kesadaran lahir dan mati memberikan tempat pada kesadaran baru. Maka aliran kesadaran tanpa henti ini akan terus berlanjut sampai kehidupan berhenti. Kehidupan dalam hal ini adalah kesadaran – keinginan untuk hidup, keinginan untuk melanjutkan.
Menurut ilmu biologi modern, kehidupan manusia baru dimulai pada saat menakjubkan ketika sel sperma dari ayah bersatu dengan sel telur atau ovum dalam tubuh ibu. Ini merupakan momen kelahiran. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan dua faktor fisik yang umum ini saja. Akan tetapi, agama Buddha membicarakan pula faktor ketiga yang bersifat rohani.
Menurut Mahatanhasamkhaya Sutta, sebuah khotbah dari Buddha : “ Dengan bertemunya ketiga faktor ini maka pembuahan terjadi. Jika calon ibu dan ayah bersatu, tetapi bukan pada masa subur si calon ibu, dan makhluk hidup yang akan dilahirkan ( gandhabba ) tidak ada, maka benih kehidupan tidak tertanam. Jika kedua calon orang tua bersatu dan pada masa subur si calon ibu, tetapi gandhabba atau makhluk hidup yang akan dilahirkan tidak ada, maka tidak terjadi pembuahan. Jika calon ibu dan ayah bersatu, dan pada masa subur si calon ibu, serta makhluk hidup yang akan dilahirkan, gandhabba, juga ada, maka benih kehidupan tertanam di sana. “
Faktor ketiga, gandhabba, hanyalah istilah untuk kesadaran yang lahir kembali ( patisandhi vinnana ). Dapat pula disebut kekuatan energi yang dilepaskan dari orang yang meninggal dunia. Tetapi kesadaran yang lahir kembali bukanlah diri yang kekal, roh ataupun satuan hidup yang merasakan buah dari perbuatan baik dan jahat. Kesadaran juga disebabkan oleh kondisi. Terpisah dari kondisi, maka tidak akan timbul kesadaran.
Kehendak untuk hidup ini, keinginan untuk hidup ini, terbayang luas dalam pikiran manusia baik yang sadar maupun yang tidak. Kehendak, seperti layaknya bentuk pikiran lainnya, adalah ungkapan energi, dan hal seperti ini tidak pernah dapat hilang atau hancur. Kehendak yang kuat dan tanpa henti ini, keinginan untuk hidup ini, adalah ungkapan energi yang kuat dan tanpa henti dan tidak dapat mati bersamaan dengan kematian seseorang. Kehendak untuk hidup membuatnya dilahirkan kembali. Keinginan untuk hidup membuatnya hidup kembali. Ia secara rohaniah kemudian mengalami kehidupan lain.
Karena kehendak untuk hidup ( bhavatanha ) merupakan motif utama yang mendasari hampir semua kegiatan manusia, pada saat kematian, hal ini berkembang begitu hebat sehingga secara rohaniah mengambil sikap serakah. Seperti yang telah dikatakan sendiri oleh Buddha ; Di ambang kematian keinginan utama ini menjadi kemelekatan ( upadana ) yang menarik dirinya pada kehidupan lain. Proses pikiran terakhirlah yang membawa kemelekatan ini. Ini merupakan hukum alam, tak ada yang misterius, misterius hanya bila kita tidak memahaminya. Orang yang sekarat dengan seluruh jasmaninya melekat kuat pada kehidupan, sehingga pada titik kematiannya, mengirim energi karma secepat kilat, menemukan rahim calon ibu siap untuk pembuahan, dan kehidupan baru pun dimulai.

KASUS ANAK KEMBAR

Anak kembar yang berasal dari satu telur memiliki kesamaan keturunan dan kesamaan lingkungan. Namun ahli psikologi telah meneliti bahwa mereka berbeda dalam sifat dan wataknya. Oleh karena itu, mungkin perbedaan ini disebabkan oleh faktor ketiga ( selain dari keturunan dan lingkungan ), yaitu “ pembawaan “ kepandaian yang lampau, dan tingkah laku dari kehidupan yang sebelumnya. Adanya anak jenius atau yang luar biasa kepandaiannya tidak dapat diterangkan dengan memuaskan dipandang dari segi keturunan atau lingkungan, hanya kepandaian bawaan dari satu kehidupan ke kehidupan lain yang dapat menjelaskan kasus – kasus khusus seperti itu ( lihat kisah – kisah mengenai anak yang luar biasa kepandaiannya. )
Ambillah contoh kasus kembar siam Chang dan Eng yang terkenal. Ini adalah kasus dengan kesamaan keturunan dan kesamaan lingkungan. Para ahli yang telah mempelajari tingkah laku mereka melaporkan bahwa keduanya memiliki watak yang berbeda jauh, Chang kecanduan minuman keras, sedangkan Eng tidak minum minuman keras.
Keadaan ini mendorong para pemikir untuk mempertimbangkan apakah tidak ada faktor lain yang ikut terlibat disamping keturunan dan lingkungannya. Adalah salah bila mengharapkan organisme tingkat tinggi yang kompleks seperti manusia lahir hanya dari perpaduan dua faktor seperti sel sperma dan sel ovum orang tua. Hanya karena campur tangan dari faktor ketiga, faktor batin yang menghasilkan kelahiran seorang anak. Perpaduan dari dua faktor fisik saja, sperma dan ovum orang tua, tidak dapat memberikan kesempatan bagi pembentukan janin yang merupakan paduan batin dan materi. Faktor batin harus dipadukan dengan dua faktor fisik untuk menghasilkan organisme jasmani – rohani yang membentuk janin.

APA YANG DILAHIRKAN KEMBALI ?

Kita memberikan sebutan – sebutan, seperti kelahiran, kematian, proses pikiran dan seterusnya, sampai pada aliran kesadaran. Hanya ada momen – momen pikiran, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, momen pikiran terakhir kita sebut kematian, dan momen pikiran pertama kita sebut kelahiran ; jadi kelahiran dan kematian terjadi dalam aliran kesadaran, yang hanya merupakan rangkaian momen – momen pikiran yang terus berlanjut. Di sini tidak ada yang tak berubah, satuan hidup yang abadi dalam personalitas manusia.
Selama manusia terikat pada kehidupan karena kebodohan, nafsu keinginan dan kemelekatannya, baginya kematian bukanlah akhir. Ia akan melanjutkan hidupnya dengan terus berputar dalam roda kehidupan. Ini merupakan permainan tanpa akhir dari aksi dan reaksi mengikuti gerakan tanpa henti akibat karma yang diliputi kebodohan, serta digerakkan oleh nafsu keinginan atau kehausan. Karena karma atau perbuatan dilakukan oleh diri kita sendiri, Kita memiliki kekuatan untuk memutuskan rantai yang tak berujung ini. Dengan memusnahkan tenaga penggeraknya, nafsu keinginan, kehausan untuk dilahirkan, keinginan untuk hidup ini ( bhava tanha ), maka lingkaran kehidupan ( samsara ) akan terhenti. Keinginan untuk hidup dan hidup kembali dapat dimusnahkan, diakhiri melalui vipassana atau meditasi untuk mengembangkan pandangan terang didahului dengan ketenangan atau samadhi. Melalui meditasi seseorang melihat akhir dari kelahiran yang berulang – ulang atau kelahiran kembali dan itu adalah realitas, atau nirwana, tujuan akhir agama Buddha.
Orang dengan pikiran ingin tahu mungkin bertanya : Jika tidak ada perpindahan jiwa atau diri atau satuan hidup yang kekal menuju reinkarnasi, apa yang dilahirkan kembali itu ? Pertanyaan ini menganggap bahwa dalam diri kita terdapat sesuatu yang mampu melayang atau berpindah dari diri kita pada saat kematian. Lebih jauh lagi dianggap bahwa sesuatu ini tetap dan tak berubah, karena sesuatu itu harus bertahan melalui kehidupan jika berlanjut pada kehidupan yang berikutnya.
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, manusia terdiri dari batin dan badan jasmani yang berubah terus menerus. Batin dan badan jasmani ini setiap saat mengalami perubahan, tidak menyisihkan tempat sedikit pun bagi sesuatu untuk tetap dan tidak berubah dilihat dari hukum perubahan yang tak dapat ditawar. Semuanya dalam keadaan berubah tanpa henti. Oleh karena itu sesuatu yang tak berubah dan tetap dalam susunan tubuh manusia, adalah tidak mungkin. Dalam aliran yang berkesinambungan tidak ada identitas absolut maupun suatu yang lain yang absolut.
Apa yang kita sebut kehidupan adalah berfungsinya lima agregat, yaitu bentuk jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk – bentuk pikiran dan kesadaran. Ini merupakan personalitas total, dengan kata lain berfungsinya batin dan badan jasmani yang hanya terdiri dari energi atau kekuatan. Keduanya tidak pernah sama pada dua saat yang berurutan. Manusia dewasa bukanlah anak – anak di masa lalu, bukan pula orang yang betul – betul berbeda ; di sini hanya ada hubungan atau kelanjutan. Hari ini adalah besok yang kaubicarakan kemarin. Anak kecil yang berkata “ aku “ hidup menjadi dewasa dan terus berkata “ aku “ hidup dengan kepercayaan yang sama, tetapi ia tidak membicarakan hal yang sama ketika ia berkata “ aku “. Segalanya yang dinyatakan itu telah berubah, tidak diragukan lagi tak terasa, dan secara batiniah berkembang banyak, kurang lebih dibanding yang lainnya, dan “ aku “ yang dikatakan oleh manusia berumur 40 tahun sama sekali bukan “ aku “ yang dikatakan oleh anak kecil, katakanlah, yang berusia 12 tahun, atau usia berapa pun di antaranya.
Kami telah memberikan jawaban singkat pada pertanyaan : Jika tak ada yang berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan selanjutnya, apakah orang yang dilahirkan kembali sama dengan orang yang telah meninggal ? Apakah ia sama dengan orang yang telah meninggal itu ataukah ia orang yang lain ?
Adalah tidak tepat bila mengatakan bahwa tidak ada identitas apa pun antara kedua orang itu. Pada saat yang sama, dengan semata – mata menyatakan bahwa terdapat identitas dapat menyebabkan beberapa kesalahpahaman. “ Tidak sama, juga tidak berbeda “. Seseorang mungkin bertanya : Jika setiap kematian diikuti dengan kelahiran, jumlah penduduk dunia seharusnya tetap, tetapi mengapa jumlah penduduk dunia bertambah dengan cepat dari tahun ke tahun ?
Kelahiran kembali dapat terjadi tidak hanya di dunia ini yang jumlah penduduknya dapat kita hitung, tetapi juga dalam sistem dunia lain yang diungkapkan oleh kitab suci agama Buddha. Satu kematian tidak perlu diartikan kelahiran yang selanjutnya pasti terjadi di alam manusia. Seorang manusia yang meninggal dunia dapat dilahirkan kembali di alam bukan manusia, di alam kehidupan yang baik ataupun alam kehidupan yang buruk, tergantung pada karma atau perbuatannya yang baik dan jahat.
Jika makhluk hidup telah dilahirkan sebelumnya, mengapa mereka tidak ingat akan kehidupan mereka yang lampau ? Seperti yang telah disinggung sebelumnya, hal ini bukanlah tidak mungkin, tetapi kejadian orang yang mengingat kehidupannya yang lampau sangatlah jarang. Terdapat lebih dari satu jawaban untuk pertanyaan ini. Ingatlah kita tidak sempurna ; sangat terbatas. Kita bahkan tidak ingat akan kelahiran kita dalam kehidupan ini, walau kita masih dalam kehidupan yang sama. Kita mengingat kembali dan ingatan kita hanya sampai pada suatu titik. Kejadian menyakitkan dari kematian, tenggang waktu dari pembuahan sampai pada proses kelahiran dapat melenyapkan ataupun memusnahkan semua bekas dari pengalaman yang lampau.
Kematian itu sendiri adalah alat pemusnah ; karena perlu bagi setiap kesadaran untuk memulai jalannya yang baru, kurang lebih suatu tabula rasa dengan bentuk otak jasmani baru. Kekhususan lainnya adalah sifat kehidupan yang merupakan lanjutan dari satu kelahiran manusia dan yang lain. Sebagaimana pandangan agama Buddha tentang kelahiran kembali di alam bukan manusia dan kesadaran yang bersangkutan tidak mencatat kesan dengan jelas, sehingga urutan dari kehidupan seperti itu antara satu kelahiran manusia dan yang lain dapat menghapus semua bekas hubungan ingatan di antara keduanya. Akan tetapi, penelitian awal mengenai pola tingkah laku anak – anak, akan memberikan lebih banyak bukti yang memberi kesan bahwa mereka membawa sedikit pengetahuan tertentu bersamanya ke dalam kehidupan baru yang tidak termasuk dalam jangkauan pengalaman mereka yang sekarang. Kecerdasan anak – anak tertentu menunjukkan diperolehnya beberapa keterampilan khusus yang benar – benar memberikan kesan bahwa mereka mengingatnya bukan mempelajarinya.
Terdapat kasus – kasus di mana anak – anak telah mengingat berbagai bakat mereka dari kehidupan yang lampau. Bagaimana kita menilai anak – anak yang luar biasa kepandaiannya dalam bidang musik, matematika, kesusastraan dan lain – lain ?
AKHIR PERJALANAN.
Manusia selalu mendapat kesulitan untuk percaya bahwa hidupnya berakhir dengan kematian badan jasmani. Pertanyaannya adalah : Apakah kita terus hidup setelah kematian ? Hal ini telah menjadi spekulasi manusia yang menonjol, karena berhubungan dengan setiap masalah mendasar dari keberadaan dan tujuan manusia di dunia ini.
Apakah tiada akhir bagi kelahiran yang berulang ini ? Buddha menunjukkan jalannya :
“ Para Bhikkhu, karena tidak mengerti, tidak menembus empat hal ( dhamma ), kita harus menempuh perjalanan begitu lama, kita semua terus mengembara dalam lingkaran kehidupan. Apakah ke empat hal itu ? Moral kebajikan, konsentrasi, kebijaksanaan dan pembebasan. Tetapi ketika empat hal ini, Bhikkhu, dimengerti dan dijalani, musnahlah nafsu keinginan untuk dilahirkan, hancurlah apa yang menyebabkan kelahiran kembali dan tidak ada lagi kelahiran kembali “.
Tanpa moral kebajikan, tidak ada konsentrasi, tanpa konsentrasi, tidak ada kebijaksanaan. Ketiga hal ini merupakan ajaran utama yang jika benar – benar dilatih, akan meningkatkan kehidupan batin seseorang dari tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi, menuntun seseorang dari kegelapan menuju terang, dari bernafsu menuju ketenangan, dari kekacauan menuju kedamaian, dari perbudakan menuju perlindungan – pembebasan.
Oleh karena itu, pencari kebebasan melatih ucapan benar, perbuatan benar dan mata pencaharian benar ( sila atau moral kebajikan ). Ia melatih daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar ( samadhi atau konsentrasi ) dan lebih lanjut juga melatih pikiran benar dan pengertian benar ( panna atau kebijaksanaan ). Buddha menyebut semua ini Jalan Mulia Berunsur Delapan atau Jalan Tengah karena menghindari dua jalan ekstrem : Kegemaran akan kenikmatan hawa nafsu yang rendah, yang bersifat duniawi dan menimbulkan kerugian adalah salah satu jalan ekstrem ; penyiksaan terhadap diri sendiri dalam bentuk pertapaan yang keras menyakitkan, yang tidak menguntungkan dan menimbulkan kerugian ; adalah jalan ekstrem lainnya.
Dengan berusaha secara benar, para pencari berhasil menembus tirai kebenaran satu per satu, hingga suatu hari, semua kotoran terbakar habis, luhur sepenuhnya dan berhasil mencapai penerangan. Ketika manusia seperti itu meninggal dunia, maka bersamanya berakhir pula keinginan untuk hidup ini. Berakhirlah kelahiran, usia tua, penyakit, ratapan, kesedihan, kesengsaraan, keputusasaan dan kematian ; maka lenyaplah semua penderitaan. Roda kehidupan yang berputar kepot menuju kehancurannya ; pusatnya yaitu kebodohan ; jari – jarinya yaitu ketamakan dan lingkarannya yaitu kebencian, dihancurkan dan musnah menjadi abu pada akhirnya dan itu adalah Nirwana – “ tidak dilahirkan, tidak berawal, tidak diciptakan dan tidak berkondisi “.
BERULANG DAN BERULANG.
Berulang dan berulang, bibit jagung ditaburkan ;
Berulang dan berulang, para dewa menurunkan hujan ;
Berulang dan berulang, para petani membajak sawah ;
Berulang dan berulang, tanah air disuburkan.
Berulang dan berulang, peminta – minta memohon sedekah ;
Berulang dan berulang, dermawan yang baik hati memberikan ;
Dan lagi – lagi memberi, para dermawan berbuat ;
Berulang dan berulang, demi kebahagiaan surgawi.
Berulang dan berulang, air susu diperah dari sapi – sapi ;
Berulang dan berulang, anak sapi menyusu ;
Berulang dan berulang, mahkluk hidup kelelahan dan gemetaran ;
Berulang dan berulang, orang bodoh menuju kandungan ;
Berulang dan berulang, kelahiran dan kematian datang padamu ;
Berulang dan berulang, orang – orang membawamu ke pemakaman
Tetapi ia yang melihat dengan jelas tidak pergi ke mana pun untuk dilahirkan ;
Ia tidak dilahirkan kembali karena ia mengenali jalan ;
Ia tidak akan dilahirkan lagi di dunia mana pun.
Sumber :
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/doktrin-kelahiran-kembali/
SPEKTRUM AJARAN BUDDHA
Kumpulan Tulisan Mahathera Piyadassi
Penerbit : YAYASAN PENDIDIKAN BUDDHIS TRI RATNA